kultur jaringan
Kira-kira permulaan abad ini, beberapa para ahli botani mengembangkan suatu teori, bahwa sel atau jaringan tanaman pada dasarnya dapat ditanam secara terpisah dalam suatu kultur in-vitro. Sel dan jaringan yang ditanam dengan cara ini memiliki kemampuan untuk regenerasi bagian-bagian yang diperlukan, dalam upaya untuk bisa tumbuh dengan normal, membentuk kembali menjadi tumbuhan yang utuh. Dengan kata lain, bahwa di dalam masing-masing sel tumbuhan mungkin mengandung informasi genetik dan atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai. Kemampuan inilah yang kemudian dikenal sebagai totipotensi (Wetherel, 1999:1).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membuktikan pendapat ini, namun pada saat itu belum berhasil, karena kurangnya pengetahuan para peneliti, khususnya dalam hal kebutuhan nutrisi dan hormon untuk pertumbuhan. Baru pada beberapa waktu kemudian, yaitu sejak diketemukannya dua macam hormon tumbuhan yaitu, asam indo asetat dan asam naftalenasetat, telah mulai berhasil dilakukan kultur organ (1920) dan kultur jaringan (1939). Hingga sekarang, kedua hormon tumbuhan tersebut diyakini memiliki peranan yang sangat penting artinya dalam kultur jaringan modern (Wetherel, 1999:1-2).
Dengan sifat totipotensi, tumbuhan dapat dikembangbiakan secara vegetatif. Perbanyakan tanaman secara vegetatif (menggunakan bagian organ pertumbuhan tanaman) merupakan alternatif dalam upaya mendapatkan tanaman baru yang mempunyai sifat sama dengan induknya. Perbanyakan tanaman secara konvesional atau tradisional umumnya masih memerlukan waktu yang cukup lama dan membutuhkan tempat yang luas. Oleh karena itu, di beberapa negara maju saat ini telah dikembangkan suatu sistem perbanyakan tanaman secara vegetatif yang lebih cepat dengan hasil yang lebih banyak. Sistem perbanyakan tanaman ini dikenal sebagai teknik kultur jaringan atau budi daya jaringan, dapat juga disebut dengan perbanyakan tanaman secara vegetatif-modern (Gunawan, 1988:1).
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Pada mulanya, orientasi teknik kultur jaringan hanya pada pembuktian teori totipotensi sel. Kemudian teknik kultur jaringan berkembang menjadi sarana penelitian di bidang fisiologi tanaman dan aspek-aspek biokimia tanaman (Gunawan, 1988:1)
Sistem kultur jaringan memiliki keuntungan lain yaitu: penghematan tenaga, waktu, tempat dan biaya. Dengan teknik kultur jaringan dapat pula dihasilkan beribu-ribu bahkan berjuta-juta tanaman baru yang berkualitas tinggi dengan waktu yang singkat (Nugroho dan Sugito, 2004:1-2)
Menurut Nugroho dan Sugito (2004) Kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila memenuhi syarat-syarat berikut, yaitu :
1. Pemilihan eksplan
Eksplan yaitu bagian tanaman yang digunakan dalam kulturasi. Eksplan yang diambil umumnya adalah jaringan muda yang disebut dengan bagian meristem, misalnya daun muda, ujung akar, ujung batang, keeping biji, dll.
2. Penggunaan media yang cocok.
3. keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik.
Teknik kultur jaringan dilakukan dengan cara menumbuhkan bagian generatif atau vegetatif pohon induk. Bagian generatif yang digunakan bisa berupa ovule, embrio, atau biji. Sementara itu, bagian vegetatifnya bisa berupa akar, daun, batang, atau mata tunas. Penumbuhan bagian-bagian tersebut dilakukan di media cair dan padat. Media cair yang terdiri dari zat nutrisi dan pengatur tumbuh digunakan untuk menumbuhkan PLB (protocorm like body), yaitu jaringan yang akan berkembang menjadi tanaman baru. Sementara itu, media padat yang terdiri dari campurn agar, nutrisi, aquades digunakan untuk memperbanyak dan membesarkan PLB yang telah tumbuh menjadi bibit di dalam media cair. Setelah bibit dalam media padat besar, baru dipisahkan dan masing-masing di tanam didalam pot (Anonim, 2007:61).
Media kultur tersusun dari beberapa komponen berikut; hara makro yang digunakan pada semua media, hara mikro hampir selalu digunakan, vitamin-vitamin yang ditambahkan dalam jumlah yang bervariasi, gula, asam amino, persenyawaan kompleks, buffer organik, arang aktif, zat pengatur tumbuh terutama auksin dan sitokinin dan bahan pemadat (agar) (Gunawan, 1988:67-68).
Proses kultur jaringan memiliki tahap-tahap tertentu dimulai dari inisiasi yaitu upaya penumbuhan meristem atau bagian tanaman (mata tunas, ujung akar, ujung daun muda, keping biji) agar tumbuh dalam media yang bebas hama dan penyakit (Nugroho dan Sugito, 2004:41). Kedua tahap sub kultur atau tahap II (D.F. Wetherel, 1999:83). Ketiga Tahap Aklimatisasi yang bertujuan untuk mengadaptasikan tanaman hasil kultur terhadap lingkungan baru (di luar botol baru) sebelum ditanam di lahan sebenarnya (Nugroho dan Sugito, 2004:50)
Supaya kecambah ataupun plantlet tidak kehabisan unsur hara dalam media, maka perlu dilakukan subkultur. Jadi sub-kultur dapat diartikan sebagai usaha untuk mengganti media tanam kultur jaringan dengan media yang baru sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kecambah ataupun plantlet dapat terpenuhi (Amilah dan Astuti, 2006:5). Selain itu kultur memerlukan media yang susunannya baru, agar berdiferensiasi lebih lanjut (Gunawan, 1995: 68).
Pada tahap sub kultur, frekuensi pengulangan dari sub kultur bervariasi untuk tiap spesies dan kondisi pertumbuhan. Beberapa macam kultur umumnya disub kultur tiap 4-8 minggu. Hampir tidak ada kepustakaan yang menyebutkan jumlah pengulangan sub kultur yang dapat dilakukan untuk maksud-maksud propagasi. Secara teori sedikitnya ada tiga masalah yang dapat menyebabkan kerusakan dari kultur-kultur tersebut, yaitu terjadinya perubahan genetik, kekurangan nutrisi, dan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pada beberapa tanaman yang telah disub kulturkan beberapa kali, ternyata tidak terjadi penurunan daya tumbuh atau perubahan karakteristik yang bisa diamati. Beberapa peneliti lain menganjurkan untuk melakukan sub kultur paling banyak 3-6 kali. Sebagai aturan yang dapat di pakai adalah untuk menghentikan sub kultur setelah terjadi perubahan morfologis yang tidak dikehendaki atau setelah kekuatan tumbuh kultur menurun (Wetherel, 1999:86).
Tanaman anggrek di subkultur sebanyak tiga kali yang memakan waktu lebih kurang selama 9 bulan. Setelah 2 minggu terlihat bola-bola kecil berwarna kehijauan menunjukkan bahwa biji sudah mulai tumbuh. Benih berumur 3 bulan setelah tanam disubkulturkan yaitu ditanam kembali ke dalam media baru, yang berisi benih yang berdaun 2. Setelah berumur 6 bulan setelah tanam disubkulturkan lagi ke dalam media baru, yang berisi tanaman kecil berdaun 4 dan berakar. Kemudian umur 9 bulan setelah tanam disubkulturkan lagi ke dalam media baru, yang berisi tanaman kecil berdaun 6 dan berakar yang siap diaklimatisasi atau dikeluarkan dari botol (Astuti, 2009:6).
0 Response to "kultur jaringan"
Posting Komentar